“Lupakan Pepatah Habis Manis Sepah Dibuang”
Perubahan iklim atau climate change telah kita rasakan. Tidak terkecuali di Indonesia. Dampaknya datang terus-menerus dengan waktu yang tak terduga. Lokasinya tersebar di seluruh tanah air. Ribuan orang pun menjadi korban. Ada yang meninggal, kehilangan sumber pendapatan, serta harus beralih pekerjaan dan tempat tinggal. Namun, bencana alam terus bergulir.
Perubahan iklim dipicu oleh pemanasan global (global warming). Yakni fenomena meningkatnya suhu bumi di atas ambang normal sekitar 300 ppm. Biasanya, suhu bumi terjaga oleh atmosfer yang menyerap secukupnya panas dari matahari dan bersama bumi memantulkan keluar sebagian lainnya. Namun, kini terlalu banyak gas seperti karbon dioksida, metan, dan lainnya yang menumpuk di atmosfer sehingga menghambat keluarnya panas matahari.
Akibatnya, suhu bumi semakin panas. Ini disebut pula sebagai efek gas rumah kaca karena atmosfer diibaratkan sebagai rumah kaca yang menaungi bumi.
Dampak
Lantas, apa dampaknya? Ke berbagai kehidupan manusia, termasuk salah satu yang perlu diwaspadai adalah mencairnya es di kutub yang menambah tinggi permukaan laut. Alhasil, wilayah pesisir laut terancam hilang. Diperkirakan, pada 2050, sebagian wilayah utara Pulau Jawa, termasuk Ancol, Tanjung Priok, dan Bandara Soekarno-Hatta, akan tenggelam.
Ironisnya, terhadap kemungkinan ancaman bencana yang disebabkan perubahan iklim itu, kita sering melupakan bencana yang telah terjadi dalam waktu yang tidak lama. Bahkan, kita cenderung menjadi tidak peduli. Seolah tidak merasakan apa-apa. Padahal, bencana di depan mata siap menerjang kita.
Oleh sebab itu, seharusnya detik ini juga, ancaman perubahan iklim itu menuntut kita mengubah kebiasaan hidup. Oleh sebab itu pula, marilah menjadi virus perubahan kepada sahabat kita, saudara kita, tetangga kita, dan semua orang yang kita temui di mana saja dan kapan saja agar peduli mencegah perubahan iklim dengan “Cara Oke Pelihara 13umi” (COP 13).
Lalu, apa saja yang perlu kita lakukan untuk COP 13? Pertama, mulailah dari diri sendiri. Misalnya, peduli hidup dan masa depan lingkungan kita yang lebih baik dengan selalu mencari tahu perkembangan terbaru perubahan iklim dari berbagai sumber informasi. Sebarkan dan tularkan kepada orang di mana saja dan kapan saja.
Kedua, lakukanlah hemat energi listrik “Switch off the electricity”. Dalam hal ini, penerangan di rumah biasanya menghasilkan 5-10 persen total jejak karbon rumah tangga. Sebagian besar alat elektronik di rumah seperti televisi, kulkas, AC, penyedot debu, oven, setrika, mesin cuci, dan komputer menyerap listrik dalam jumlah besar, termasuk saat berada dalam kondisi stand by. Bila kita lakukan, hal itu akan berdampak pula pada penghematan biaya.
Ketiga, habis manis, sepah didaur ulang (recycle). Pepatah mengatakan: Habis manis sepah dibuang. Tapi, kini kita harus berpikir lebih jauh lagi karena jika membuang sampah terus-menerus tanpa mengolahnya lebih lanjut atau mendaur ulang, lingkungan akan tercemar.
Lakukan pemilahan sampah organik dan nonorganik. Yang organik (seperti sisa buah, sayur, dan makanan alami) dapat dijadikan kompos, sedangkan yang nonorganik (seperti plastik, kertas, tembaga) dapat didaur ulang untuk dijadikan produk-produk lainnya.
Jangan membakar sampah karena bisa menghasilkan gas-gas yang dapat menimbulkan pencemaran tanah dan udara. Kalau bosan dengan barang-barang lama, boleh juga kita menggalakkan garage sale, siapa tahu barang-barang bekas kita bisa dimanfaatkan oleh orang lain.
Keempat, lakukanlah hemat BBM dan secara bijak gunakan moda transportasi. Berdasar data WWF, sektor transportasi menyumbang 27 persen emisi CO2 (karbon dioksida) dari pembakaran bahan bakar fosil.
Jadi, usahakan untuk melakukan, antara lain, berangkat ke kantor secara bersama dengan seluruh anggota keluarga atau teman-teman yang memiliki tujuan yang searah. Ini sekalian efisiensi biaya transportasi.
Lakukan cek emisi karbon kendaraan pribadi dengan rutin; bila mungkin gunakan alat transportasi masal seperti kereta api, bus/busway atau kendaraan umum lainnya, serta gunakan sepeda atau berjalan kaki ke tempat yang dekat.
Kelima, hemat air. Menurut WHO, air yang layak dimanfaatkan manusia 2,5 persen dari seluruh air di bumi. Sisanya, 97,5 persen, adalah air laut. Sementara yang dapat dikonsumsi manusia hanya 1 persen dari 2,5 persen tadi.
diambil dari artikel Valerina Daniel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar