Minggu, 20 Desember 2009

Cinta Berpijak pada Perasaaan Sekaligus pada Akal Sehat

Cinta Berpijak pada Perasaan Sekaligus Akal Sehat

Cinta Berpijak pada Perasaan Sekaligus Akal Sehat Miskonsepsi pertama yang
ditentang Bowman adalah manusia jatuh cinta dengan menggunakan perasaan
belaka. Betul, kita jatuh cinta dengan hati. Tapi agar tidak menimbulkan
kekacauan di kemudian hari, kita diharapkan untuk juga menggunakan akal
sehat.

Bohong besar kalau kita bisa jatuh cinta dengan begitu saja tanpa bisa
mengelak. Yang sesungguhnya terjadi, proses jatuh cinta dipengaruhi
tradisi,
kebiasaan, standar, gagasan, dan ideal kelompok dari mana kita berasal.

Bohong besar pula kalau kita merasa boleh berbuat apa saja saat jatuh
cinta,
dan tidak bisa dimintai pertanggunganjawab bila perbuatan-perbuatan
impulsif
itu berakibat buruk suatu ketika nanti. Kehilangan perspektif bukanlah
pertanda kita jatuh cinta, melainkan sinyal kebodohan.

Cinta membutuhkan proses !!! Bowman juga menolak anggapan cinta bisa
berasal
dari pandangan pertama. Cinta itu tumbuh dan berkembang dan merupakan
emosi
yang kompleks, katanya. Untuk tumbuh dan berkembang, cinta membutuhkan
waktu.

Jadi memang tidak mungkin kita mencintai seseorang yang tidak ketahuan
asal-usulnya dengan begitu saja. Cinta tidak pernah menyerang tiba-tiba,
tidak juga jatuh dari langit. Cinta datang hanya ketika dua individu telah
berhasil melakukan orientasi ulang terhadap hidup dan memutuskan untuk
memilih orang lain sebagai titik fokus baru.

Yang mungkin terjadi dalam fenomena cinta pada pandangan pertama adalah
pasangan terserang perasaan saling tertarik yang sangat kuat-bahkan sampai
tergila-gila. Kemudian perasaan kompulsif itu berkembang jadi cinta tanpa
menempuh masa jeda.

Dalam kasus cinta pada pandangan pertama, banyak orang tidak benar-benar
mencintai pasangannya, melainkan jatuh cinta pada konsep cinta itu
sendiri.
Sebaliknya dengan orang yang benar-benar mencinta. Mereka mencintai
pasangan
sebagai persolinatas yang utuh.

Cinta tidak menguasai dan mengalah, tapi berbagi.
Bukan cinta namanya bila kita berkehendak mengontrol pasangan. Juga bukan
cinta bila kita bersedia mengalah demi kepuasan kekasih. Orang yang
mencinta
tidak menganggap kekasih sebagai atasan atau bawahan, tapi sebagai
pasangan
untuk berbagi, juga untuk mengidentifikasi diri.

Bila kita berkeinginan menguasai kekasih (membatasi pergaulannya,
melarangnya
beraktivitas positif, mengatur seleranya berbusana) atau melulu mengalah
(tidak protes bila kekasih berbuat buruk, tidak keberatan
dinomorsekiankan),
berarti kita belum siap memberi dan menerima cinta.

Cinta itu konstruktif.
Individu yang mencinta berbuat sebaik-baiknya demi kepentingan sendiri
sekaligus demi (kebanggaan) pasangan. Dia berani berambisi, bermimpi
konstruktif,
dan merencanakan masa depan. Sebaliknya dengan yang jatuh cinta impulsif.
Bukannya berpikir dan bertindak konstruktif, dia kehilangan ambisi, nafsu
makan, dan minat terhadap masalahsehari-hari. Yang dipikirkan hanya
kesengsaraan
pribadi. Impiannya pun tak mungkin tercapai. Bahkan impian itu bisa
menjadi
subsitusi kenyataan.

Cinta tidak melenyapkan semua masalah.
Penganut faham romantik percaya cinta bisa mengatasi masalah. Seakan-akan
cinta itu obat bagi segala penyakit (panacea). Kemiskinan dan banyak
problem
lain diyakini bisa diatasi dengan berbekal cinta belaka. Faktanya, cinta
tidaklah seajaib itu. Cinta hanya bisa membuat sepasang kekasih berani
menghadapi masalah. Permasalahan seberat apapun mungkin didekati dengan
jernih agar bisa dicarikan jalan keluar. Orang yang tengah mabuk
kepayang-berarti
tidak benar-benar mencinta-cenderung membutakan mata saat tercegat
masalah.
Alih-alih bertindak dengan akal sehat, dia mengenyampingkan problem.

Cinta cenderung konstan.
Ya, cinta itu bergerak konstan. Maka kita patut curiga bila grafik
perasaan
kita pada kekasih turun naik sangat tajam. Kalau saat jauh kita merasa
kekasih lebih hebat dibanding saat bersama, itu pertanda kita
mengidealisasikannya,
bukan melihatnya secara realistis. Lantas saat kembali bersama, kita
memandang
kekasih dengan lebih kritis dan hilanglah segala bayangan hebat itu.
Sebaliknya
berhati-hatilah bila kita merasa kekasih hebat saat kita berdekatan
dengannya
dan tidak lagi merasakan hal yang sama saat dia jauh. Hal sedemikian
menandakan
kita terkecoh oleh daya tarik fisik. Cinta terhitung sehat bila saat dekat
dan jauh dari pasangan, kita menyukainya dalam kadar sebanding.

Cinta tidak bertumpu pada daya tarik fisik.
Dalam hubungan cinta, daya tarik fisik penting. Tapi bahaya bila kita
menyukai
kekasih hanya sebatas fisik dan membencinya untuk banyak factor lainnya.
Saat jatuh cinta, kita menikmati dan memberi makna penting bagi setiap
kontak fisik. Kontak fisik, ketahuilah, hanya terasa menyenangkan bila
kita dan pasangan saling menyukai personalitas masing-masing. Maka bukan
cinta namanya, melainkan nafsu, bila kita menganggap kontak fisik hanya
memberi sensasi menyenangkan tanpa makna apa-apa. Dalam cinta, afeksi
terwujud
belakangan saat hubungan kian dalam. Sedang nafsu menuntut pemuasan fisik
sedari permulaan.

Cinta tidak buta, tapi menerima.
Cinta itu buta? Tidak sama sekali. Orang yang mencinta melihat dan
menyadari
sisi buruk kekasih. Karena besarnya cinta, dia berusaha menerima dan
mentolerir.
Tentu ada keinginan agar sisi buruk itu membaik. Namun keinginan itu
haruslah
didasari perhatian dan maksud baik. Tidak boleh ada kritik kasar,
penolakan,
kegeraman, atau rasa jijik. Nafsulah yang buta. Meski pasangan sangat
buruk,
orang yang menjalin hubungan dengan penuh nafsu menerima tanpa keinginan
memperbaiki. Juga meninggalkan pasangan saat keinginannya terpuaskan,
hanya
karena pasangan punya secuil keburukan yang sangat mungkin diperbaiki.

Cinta memperhatikan kelanjutan hubungan.
Orang yang benar-benar mencinta memperhatikan perkembangan hubungan dengan
kekasih. Dia menghindari segala hal yang mungkin merusak hubungan. Sebisa
mungkin dia melakukan tindakan yang bisa memperkuat, mempertahankan, dan
memajukan hubungan. Orang yang sedang tergila-gila mungkin saja berusaha
keras menyenangkan kekasih. Namun usaha itu semata-mata dilakukan agar
kekasih menerimanya, sehingga tercapailah kepuasan yang diincar. Orang
yang mencinta menyenangkan pasangan untuk memperkuat hubungan.

Cinta berani melakukan hal menyakitkan.
Selain berusaha menyenangkan kekasih, orang yang sungguh-sungguh mencinta
memiliki perhatian, keprihatinan, pengertian, dan keberanian untuk
melakukan
hal yang tidak disukai kekasih demi kebaikan. Seperti seorang ibu yang
berkata tidak saat anaknya minta es krim, padahal sedang flu.

Begitulah kita semua seharusnya bersikap pada pasangan.
Sumber: Fast.P.Querto


----------------------------------------------------
r.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar