Bisa dikatakan, keteladanan adalah harga mati. Kalau sampai mata rantai keteladanan dari kakak tingkat itu putus, maka hidup atau tidaknya jiwa kepamongan dalam sekolah ini patut diragukan karena keteladanan adalah sebuah media untuk mengaktifkan aturan. Jika keteladanan itu luntur, aturan pun akan sulit untuk ditegakkan. Sedangkan terdapat satu hal yang perlu kita sadari bersama bahwa keteladanan dalam menjalankan aturan bukanlah hal yang mudah.
Sekarang, ketika kampus ini hanya dihuni oleh dua angkatan, ketika kampus ini memiliki kriteria penilaian A untuk mempraktekkan keteladanan karena ada junior dan senior beserta seabrek peraturan yang mengatur hubungan antar keduanya, ketika sekolah ini masih punya aturan, sekali lagi . . . ketika sekolah ini masih punya aturan. Toh tetap saja keteladanan begitu sukar untuk ditemukan, sukar untuk dilakukan, dan sukar untuk ditanamkan dalam jiwa. Keteladanan tidak melulu hanya digerakkan oleh senior. Semua pihak “bertanggung-jawab” dalam hal keteladanan, termasuk junior. Tapi tetap saja senior harus punya posisi selangkah lebih maju daripada junior dalam hal keteladanan. Hidup matinya keteladanan tergantung dari senior, bukan berarti junior dilarang terlibat. Bisa saja junior juga ikut andil, tapi resikonya mungkin mereka akan dikatakan sok-sokan. Nah, apakah hal itu akan kita biarkan terus menerus terjadi? Tidak, kan?
Apalagi kita hidup di kesatrian. Berarti kita adalah seorang satria. Berani mengakui kesalahan apalagi kebenaran. Jika itu harus diterapkan sebagai sebuah keteladanan tanpa harus takut dibilang sok-sokan, sok idealis. Tapi yang terpenting adalah niat tulus untuk merubah lembaga kita ke arah yang lebih baik. Hal ini adalah modal utama untuk membangunkan sikap keteladanan yang selama ini tidur panjang.
Dulu kekerasan memang di jadikan suplemen untuk mengabadikan keteladanan. Itu sukses membuat lembaga ini dicap sebagai sekolah yang menerapkan disiplin murni, bukan disiplin komando. Sekarang, katanya . . . sekali lagi katanya kekerasan itu sudah dibekukan dan digantikan dengan cara yang lebih persuasif. Sangat jelas sekali perbedaan outputnya antara keteladanan sebagai produk dari kekerasan dan keteladanan sebagai produk dari tanpa pemaksaan. Keteladanan persuasiflah yang sekarang dikampanyekan dan diharapkan dapat mendukung terjadinya perubahan paradigma. Sementara itu kekerasan yang mengakar dan mungkin masih melekat adalah PR bagi lembaga dan segenap civitas akademika Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Hal ini tentu akan memunculkan dilema, apakah dapat mempertahankan keteladanan dengan persuasif untuk perubahan paradigma tanpa menyentuh sebuah identitas sekolah kepamongan yang sudah dibentuk sedemikian penuh?
Kadang, jika dengan cara halus seperti itu aturan belum bisa tegak juga dengan keteladanan dari seorang kakak kepada seorang adik, maka solusi bodohnya adalah kekerasan. Jadilah aturan itu tegak bukan karena keteladanan, tapi karena ketakutan. Aturan hanya bisa tegak apabila mengingat sanksi sarkas dari senior. Bukan karena keikhlasan untuk melatih diri bagaimana caranya membentuk mental taat pada aturan.
Namun hal tersebut dapat diatasi bila kita meyakinkan diri dan bersikap optimis bahwa keteladanan tidaklah sulit diwujudkan dan hanya dapat diterapkan dengan cara kekerasan. Perlu digarisbawahi pula bahwa keteladanan pun dapat tercipta melalui jalur persuasif. Tidak perlu adanya pemukulan hanya untuk menerapkan aturan. Jalannya sebuah aturan lebih baik dengan pemberian motivasi bahwa menegakkan aturan akan menjaga diri kita. Memberi contoh terbaik kepada rekan seangkatan maupun adik kita sendiri dan membuktikan bahwa aturan akan membuat hidup jadi lebih indah, adalah metode yang paling sederhana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar