Minggu, 25 Maret 2012

Hukum Perbankan : Kredit Bank

Munir Fuady mengemukakan dasar-dasar hukum perjanjian kredit bank sebagai berikut :
  1. Perjanjian diantara para pihak
  2. Undang-undang tentang perbankan
  3. Peraturan Pelaksanaan dari undang-undang
  4. Yurisprudensi
  5. Kebiasaan perbankan
  6. Peraturan perundang-undangan terkait lainnya
1.Perjanjian diantara para pihak
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Maka dengan
ketentuan pasal itu berlaku sah setiap perjanjian yang dibuat secara sah bahkan kekuatannya sama dengan kekuatan undang-undang. Demikian pula dalam bidang perkreditan, khususnya kredit bank yang diawali oleh satu perjanjian yang sering disebut dengan perjanjian kredit dan umumnya dilakukan dalam bentuk tertulis.

2.Undang-undang sebagai dasar hukum
Di Indonesia undang-undang yang khusus mengatur tentang perbankan adalah Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan dan Nomor 7 tahun 1998 tentang Perbankan.

3.Peraturan Pelaksanaan Sebagai Dasar Hukum
Peraturan perundang-undangan seperti ini cukup banyak. Hal ini diakibatkan oleh karena suatu karakter yuridis dari bisnis perbankan yakni bidang bisnis yang sarat dengan pengaturan dan petunjuk pelaksanaan (Heaviy regulated bussiness)
Diantara peraturan peundangan yang levelnya dibawah undang-undang yang mengatur juga tentang perkreditan dapat diklassifikasikan sebagai berikut :
  1. Peraturan Pemerintah
  2. Peraturan perundang-undangan oleh Menteri Keuangan
  3. Peraturan Perundang-undangan oleh Bank Indonesia
  4. Peraturan perundang-undangan lainnya
     
    4.Yurisprudensi Sebagai Dasar Hukum
Di samping peraturan perundang-undangan yang telah disepakati sebagai dasar hukum untuk untuk kegiatan perkreditan yurisprudensi dapat juga menjadi dasar hukum.

5.Kebiasaan Perbankan Sebagai Dasar Hukum
Dalam Ilmu Hukum diajarkan bahwa kebiasaan dapat juga menjadi suatu sumber hukum. Demikian juga dalam bidang perkreditan, kebiasaan dan dan praktikperbankan dapat juga menjadi suatu dasar hukumnya. Memamng banyak hal yang telah lazim dilaksanakan dalam praktek tetapi belummendapat pengaturan dalam peraturan perundang-undangan. Hal seperti ini tentu sah-sah saja untuk dilakukan oleh perbankan, asal saja tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mnurut UU Perbankan Nomor 10 tahun 1998, bank bahkan dapat melakukan kegiatan lain dari yang telah diperincikan oleh Pasal 6 nya, jika hal tersebut merupakan kelaziman dalam dunia perbankan ( vide Pasal 6 huruf n ).
 
6.Peraturan Terkait Lainnya Sebagai Dasar Hukum
Dalam pemberian kredit bankseringkali terkait dengan beberapa peraturan perundang-undangan, sebagai contoh karena kredit pada hakekatnya merupakan suatu wujud perjanjian, maka akan terkait buku ketiga KUH Perdata tentang Perikatan, demikian halnya dengan ketentuan mengenai hipotik atau hak tanggungan yang diatur dalam UU Pokok Agraria UU No 5 tahun 1960, HIR tentang eksekusi hipotik, KUH Acara Perdata dan lain-lain. UU No 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

Prinsip-prinsip Kredit Bank
prinsip perjanjian perjanjian kredit bank adalah Munir Fuady yang menguraikan prinsip perkreditan secara garis besar, yaitu terdiri dari prinsip kepercayaan, prinsip ke hati-hatian, prinsip 5-C, prinsip 5-P dan prinsip 3-R.
1. Prinsip Kepercayaan
    Savelberg mengemukakan prinsip kepercayaan, bahwa debitur dapat dipercaya kemampuannya untuk memenuhi perikatannya, hal ini menuju kepada arti hukum kredit pada umumnya. Sesuai dengan asal kata kredit yang berarti kepercayaan, maka setiap pemberian sebenarnya mestilah diikuti oleh kepercayaan, yakni kepercayaan dari kreditur akan bermanfaatnya kredit bagi debitur sekaligus kepercayaan oleh kreditur bahwa debitur dapat membayar kembali kreditnya. Tentunya untuk bisa memenuhi unsur kepercayaan ini oleh kreditur mestilah dilihat apakah calon debitur memenuhi berbagai kriteria yang biasanya diberlakukan terhadap suatu kredit. Karena itu timbul suatu prinsip lain yang disebut prinsip kehati-hatian.
2. Prinsip Kehati-hatian
    Prinsip kehati-hatian (prudent) ini adalah salah satu konkretisasi dari prinsip kepercayaan dalam suatu pemberian kredit. Disamping pula sebagai suatu perwujudan dari prinsip prudent banking
dari seluruh kegiatan perbankan . Untuk mewujudkan prinsip ini dalam pemberian kredit berbagai usaha pengawasan dilakukan baik pengawasan internal (dalam bank itu sendiri) maupun eksternal (pihak luar). Untuk itulah Bank Indonesia mengeluarkan berbagai macam ketentuan antara lain mengenai batas maksimum pemberian kredit (legal-lending-limit).
 
3. Prinsip 5-C
    Prinsip ini dikenal dalam dunia perbankan yang merupakan singkatan dari unsur-unsur character – capacity – capital –condition of economy dan collateral. Character adalah watak/kepribadian/prilaku calon debitur yang harus menjadi perhatian bank sebelum perjanjian kredit ditanda tangani. Capacity adalah kemampuan calon debitur sehingga diprediksi kemampuannya untuk melunasi utangnya. Capital adalah permodalan dari suatu debitur yang harus diketahui oleh seorang calon kreditur karena kemamuan permodalan dan keuntungan dari debitur mempunyai korelasi langsung dengan tingkat kemampuan membayar kredit. Untuk itu perlu diteliti masalah likuiditas dan solvabilitas dari dari perusahaan calon debitur. Condition of economy yaitu suau kondisi perekonomian baik secara mikro maupun secara makro yang harus dianalisis sebelum kredit diberikan terutama yang berhubungan langsung dengan bisnis pihak debitur, misalnya suatu bisnis yang sangat dipengaruhi oleh policy pemerintah berkaitan dengan proteksi atupun hak monopoli yang diberikan oleh pemerintah. Collateral atau agunan merupakan the last ressort bagi kreditur, akan tetapi tidak diragukan lagi betapa penting fungsi agunan dalam setiap pemberian kredit. Agunan akan direalisasi atau dieksekusi jika suatu kredit benar-benar dalamkeadaan macet.
 
4. Prinsip 5-P
    Mengingat kredit mengandung resiko yang sangat tinggi maka selain penilaian berdasarkan prinsip 5-C tersbut diatas, dalam praktik perbankan dikenal pula prinsip 5-P yang harus diperhatikan oleh bank dalam penyaluran kredit, yaitu prinsip party atau para pihak. Menurut prinsip ini para pihak merupakan titik sentral yangharus diperhatikan dalam setiap pemberian kredit menyangkut karakternya, kemampuan dan sebagainya. Purpose yaitu tujuan dari pemberian kredit harus dilihat apakah kredit akan digunakan untuk hal-hal yang positif yang dapat menaikkan income perusahaan. Payment atau pembayaran, masalah pembayaran kembali kredit yang sudah diberikan dalam keadaan lancar merupakan hal yang sangat diharapkan bank, oleh karena itu harus diperhatikan apakah sumber pembayaran kredit dari calon debitir cukup aman dan tersedia sehingga mencukupi untuk membayar kredit. Profitability, yaitu penilaian terhadap kemampuan calon debitur untuk memperoleh keuntungan dan usahanya. Protection atau perlindungan. Perlindungan dari kelompok perusahaan atau jaminan dari holding atau jaminan pribadi dari pemilik perusahaan merupakan hal yang penting pula untuk diperhatikan. Hal ini terutama untuk menjaga jika terjadi hal-hal yang terjadi diluar prediksi semula.
 
5. Prinsip 3-R
    Prinsip 3-R yaitu Returns, repayment dan risk bearing ability. Returns yakni hasil yang akan diperoleh oleh debitur, artinya perolehan tersebut mencukupi untuk membayar kembali kredit beserta bunga, ongkos-ongkos disamping membayar keperluan perusahaan yang lain seperti untuk cash flow, kredit lain jika ada dan sebagainya. Repayment yaitu kemampuan bayar dari pihak debitur. Perlu diperhatikan apakah kemampuan bayar tersebut match dengan schedule pembayaran kembali dari kredit yang diberikan itu. Risk Bearing ability atau kemampuan menanggung resiko perlu diperhatikan sejauhmana kemampuan debitur untuk menanggung resiko dalam hal-hal diluar antisipasi kedua belah pihak.
    Jika melihat beberapa prinsip yang telah dikemukakan diatas, menurut hemat penulis prinsip 5-C yang dikemukakan lebih dahulu telah mengcover prinsip 5-P dan 3-R yang diuraikan berikutnya. Jika melihat ketentuan kredit yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tampak bahwa UU tersebut secara eksplisit telah mencantumkan prinsip 5-C.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar