Munir Fuady mengemukakan dasar-dasar hukum perjanjian kredit bank sebagai berikut :
-
Perjanjian diantara para pihak
-
Undang-undang tentang perbankan
-
Peraturan Pelaksanaan dari undang-undang
-
Yurisprudensi
-
Kebiasaan perbankan
-
Peraturan perundang-undangan terkait lainnya
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata
menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi yang membuatnya. Maka dengan
ketentuan pasal itu berlaku sah setiap
perjanjian yang dibuat secara sah bahkan kekuatannya sama dengan
kekuatan undang-undang. Demikian pula dalam bidang perkreditan,
khususnya kredit bank yang diawali oleh satu perjanjian yang sering
disebut dengan perjanjian kredit dan umumnya dilakukan dalam bentuk
tertulis.
2.Undang-undang sebagai dasar hukum
Di Indonesia undang-undang yang khusus
mengatur tentang perbankan adalah Undang-undang No. 10 tahun 1998
tentang Perbankan dan Nomor 7 tahun 1998 tentang Perbankan.
3.Peraturan Pelaksanaan Sebagai Dasar Hukum
Peraturan perundang-undangan seperti ini
cukup banyak. Hal ini diakibatkan oleh karena suatu karakter yuridis
dari bisnis perbankan yakni bidang bisnis yang sarat dengan pengaturan
dan petunjuk pelaksanaan (Heaviy regulated bussiness)
Diantara peraturan peundangan yang
levelnya dibawah undang-undang yang mengatur juga tentang perkreditan
dapat diklassifikasikan sebagai berikut :
-
Peraturan Pemerintah
-
Peraturan perundang-undangan oleh Menteri Keuangan
-
Peraturan Perundang-undangan oleh Bank Indonesia
-
Peraturan perundang-undangan lainnya4.Yurisprudensi Sebagai Dasar Hukum
Di samping peraturan perundang-undangan
yang telah disepakati sebagai dasar hukum untuk untuk kegiatan
perkreditan yurisprudensi dapat juga menjadi dasar hukum.
5.Kebiasaan Perbankan Sebagai Dasar Hukum
Dalam Ilmu Hukum diajarkan bahwa
kebiasaan dapat juga menjadi suatu sumber hukum. Demikian juga dalam
bidang perkreditan, kebiasaan dan dan praktikperbankan dapat juga
menjadi suatu dasar hukumnya. Memamng banyak hal yang telah lazim
dilaksanakan dalam praktek tetapi belummendapat pengaturan dalam
peraturan perundang-undangan. Hal seperti ini tentu sah-sah saja untuk
dilakukan oleh perbankan, asal saja tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Mnurut UU Perbankan Nomor 10 tahun
1998, bank bahkan dapat melakukan kegiatan lain dari yang telah
diperincikan oleh Pasal 6 nya, jika hal tersebut merupakan kelaziman
dalam dunia perbankan ( vide Pasal 6 huruf n ).
6.Peraturan Terkait Lainnya Sebagai Dasar Hukum
Dalam pemberian kredit bankseringkali
terkait dengan beberapa peraturan perundang-undangan, sebagai contoh
karena kredit pada hakekatnya merupakan suatu wujud perjanjian, maka
akan terkait buku ketiga KUH Perdata tentang Perikatan, demikian halnya
dengan ketentuan mengenai hipotik atau hak tanggungan yang diatur dalam
UU Pokok Agraria UU No 5 tahun 1960, HIR tentang eksekusi hipotik, KUH
Acara Perdata dan lain-lain. UU No 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
Prinsip-prinsip Kredit Bank
prinsip perjanjian perjanjian kredit bank
adalah Munir Fuady yang menguraikan prinsip perkreditan secara garis
besar, yaitu terdiri dari prinsip kepercayaan, prinsip ke hati-hatian, prinsip 5-C, prinsip 5-P dan prinsip 3-R.
1. Prinsip Kepercayaan
Savelberg mengemukakan prinsip
kepercayaan, bahwa debitur dapat dipercaya kemampuannya untuk memenuhi
perikatannya, hal ini menuju kepada arti hukum kredit pada umumnya.
Sesuai dengan asal kata kredit yang berarti kepercayaan, maka setiap
pemberian sebenarnya mestilah diikuti oleh kepercayaan, yakni
kepercayaan dari kreditur akan bermanfaatnya kredit bagi debitur
sekaligus kepercayaan oleh kreditur bahwa debitur dapat membayar kembali
kreditnya. Tentunya untuk bisa memenuhi unsur kepercayaan ini oleh
kreditur mestilah dilihat apakah calon debitur memenuhi berbagai
kriteria yang biasanya diberlakukan terhadap suatu kredit. Karena itu
timbul suatu prinsip lain yang disebut prinsip kehati-hatian.
2. Prinsip Kehati-hatian
Prinsip kehati-hatian (prudent) ini
adalah salah satu konkretisasi dari prinsip kepercayaan dalam suatu
pemberian kredit. Disamping pula sebagai suatu perwujudan dari prinsip prudent banking
dari seluruh kegiatan perbankan . Untuk mewujudkan prinsip ini dalam pemberian kredit berbagai usaha pengawasan dilakukan baik pengawasan internal (dalam bank itu sendiri) maupun eksternal (pihak luar). Untuk itulah Bank Indonesia mengeluarkan berbagai macam ketentuan antara lain mengenai batas maksimum pemberian kredit (legal-lending-limit).
dari seluruh kegiatan perbankan . Untuk mewujudkan prinsip ini dalam pemberian kredit berbagai usaha pengawasan dilakukan baik pengawasan internal (dalam bank itu sendiri) maupun eksternal (pihak luar). Untuk itulah Bank Indonesia mengeluarkan berbagai macam ketentuan antara lain mengenai batas maksimum pemberian kredit (legal-lending-limit).
3. Prinsip 5-C
Prinsip ini dikenal dalam dunia perbankan yang merupakan singkatan dari unsur-unsur character – capacity – capital –condition of economy dan collateral.
Character adalah watak/kepribadian/prilaku calon debitur yang harus
menjadi perhatian bank sebelum perjanjian kredit ditanda tangani.
Capacity adalah kemampuan calon debitur sehingga diprediksi kemampuannya
untuk melunasi utangnya. Capital adalah permodalan dari suatu debitur
yang harus diketahui oleh seorang calon kreditur karena kemamuan
permodalan dan keuntungan dari debitur mempunyai korelasi langsung
dengan tingkat kemampuan membayar kredit. Untuk itu perlu diteliti
masalah likuiditas dan solvabilitas dari dari perusahaan calon debitur.
Condition of economy yaitu suau kondisi perekonomian baik secara mikro
maupun secara makro yang harus dianalisis sebelum kredit diberikan
terutama yang berhubungan langsung dengan bisnis pihak debitur, misalnya
suatu bisnis yang sangat dipengaruhi oleh policy pemerintah berkaitan
dengan proteksi atupun hak monopoli yang diberikan oleh pemerintah. Collateral atau agunan merupakan the last ressort
bagi kreditur, akan tetapi tidak diragukan lagi betapa penting fungsi
agunan dalam setiap pemberian kredit. Agunan akan direalisasi atau
dieksekusi jika suatu kredit benar-benar dalamkeadaan macet.
4. Prinsip 5-P
Mengingat kredit mengandung resiko
yang sangat tinggi maka selain penilaian berdasarkan prinsip 5-C
tersbut diatas, dalam praktik perbankan dikenal pula prinsip 5-P yang
harus diperhatikan oleh bank dalam penyaluran kredit, yaitu prinsip party
atau para pihak. Menurut prinsip ini para pihak merupakan titik sentral
yangharus diperhatikan dalam setiap pemberian kredit menyangkut
karakternya, kemampuan dan sebagainya. Purpose yaitu tujuan
dari pemberian kredit harus dilihat apakah kredit akan digunakan untuk
hal-hal yang positif yang dapat menaikkan income perusahaan. Payment
atau pembayaran, masalah pembayaran kembali kredit yang sudah diberikan
dalam keadaan lancar merupakan hal yang sangat diharapkan bank, oleh
karena itu harus diperhatikan apakah sumber pembayaran kredit dari calon
debitir cukup aman dan tersedia sehingga mencukupi untuk membayar
kredit. Profitability, yaitu penilaian terhadap kemampuan calon debitur untuk memperoleh keuntungan dan usahanya. Protection
atau perlindungan. Perlindungan dari kelompok perusahaan atau jaminan
dari holding atau jaminan pribadi dari pemilik perusahaan merupakan hal
yang penting pula untuk diperhatikan. Hal ini terutama untuk menjaga
jika terjadi hal-hal yang terjadi diluar prediksi semula.
5. Prinsip 3-R
Prinsip 3-R yaitu Returns, repayment dan risk bearing ability. Returns yakni
hasil yang akan diperoleh oleh debitur, artinya perolehan tersebut
mencukupi untuk membayar kembali kredit beserta bunga, ongkos-ongkos
disamping membayar keperluan perusahaan yang lain seperti untuk cash
flow, kredit lain jika ada dan sebagainya. Repayment yaitu kemampuan
bayar dari pihak debitur. Perlu diperhatikan apakah kemampuan bayar
tersebut match dengan schedule pembayaran kembali dari kredit yang
diberikan itu. Risk Bearing ability atau kemampuan menanggung resiko
perlu diperhatikan sejauhmana kemampuan debitur untuk menanggung resiko
dalam hal-hal diluar antisipasi kedua belah pihak.
Jika melihat beberapa prinsip yang
telah dikemukakan diatas, menurut hemat penulis prinsip 5-C yang
dikemukakan lebih dahulu telah mengcover prinsip 5-P dan 3-R yang
diuraikan berikutnya. Jika melihat ketentuan kredit yang terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tampak bahwa UU tersebut secara
eksplisit telah mencantumkan prinsip 5-C.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar